Sebuah Perjalanan Menyusuri Lini Masa Kehidupan

 

Oleh : Suhita Whini Setyahuni

Hidup merupakan hal paling abstrak bagi manusia. Manusia memang tidak diberi kemampuan oleh Tuhan untuk memikirkan hidup. Tuhan hanya memberi manusia kemampuan untuk menjalani hidup, bukan untuk memilih atau memikirkan alur hidup sesuai keinginannya. Suka atau tidak, manusia harus menjalani hidupnya sendiri dalam variabel yang bernama waktu. Dalam labirin kehidupan yang terasa panjang dan membingungkan, kemampuan manusia yang terus terasah adalah mempertahankan kehidupan itu sendiri. Manusia yang mampu bertahan hidup yang akan menguasai panggung kehidupan. Seperti itulah dunia diciptakan.

Dunia dapat berubah tergantung sudut pandang masing-masing orang. Dunia bisa tampak kejam dan tidak adil. Di sisi lain, dunia merupakan hamparan keindahan semu yang melenakan. Tidak ada yang akan hidup abadi di dunia. Persoalannya adalah bukan pada cara kita memandang dunia, tetapi upaya kita untuk menciptakan dunia versi terbaik kita sendiri. Tak perlu memandang dunia milik orang lain, jika milik kita sendiri adalah yang terbaik yang mampu kita ciptakan.

Aku adalah salah satu korban dari kerasnya kehidupan dunia. Terlahir di keluarga yang broken home bukanlah jalan hidup yang kupilih. Andai saja aku dapat memilih, tentu aku akan memilih terlahir di keluarga yang dipenuhi cinta dan kasih. Keluarga, bagi sebagian orang merupakan tempat kembali yang paling nyaman, tempat melepas penat dan gelisah, dan tempat saling berbagi cerita. Namun, semua gambaran indah tentang keluarga sudah koyak di benakku. Aku menyaksikan adegan kekerasan sejak masih kecil. Kedua orangtua yang selalu aku banggakan akhirnya memilih untuk bercerai saat usiaku baru enam tahun.

Setiap orang pasti pernah mempunyai luka dalam hidupnya. Hanya saja kedalaman luka, rasa sakit, dan cara mengatasi luka tersebut yang berbeda-beda. Sebenarnya, setiap orang mempunyai dua pilihan saat orang itu terluka. Pertama, meratapi luka itu terus menerus, menyesali, bahkan menyalahkan siapa saja karena telah membuat dia terluka. Sikap yang demikian pada akhirnya dapat mengubah kehidupan orang tersebut menjadi neraka setiap harinya. Dia akan terus mencari kambing hitam penyebab dari luka yang dia derita. Pilihan yang kedua adalah dengan menerima luka itu. Walaupun perih dan sakit, namun, dia mampu mengubah luka itu menjadi pelecut bagi dirinya untuk terus bergerak. Layaknya sebuah bola, semakin dipantulkan ke bawah, bola itu akan semakin melesat tinggi. Terus bergerak maju adalah cara paling ampuh untuk mengatasi luka. Tidak perlu terburu-buru untuk berlari, biarkan kaki ini melangkah perlahan, asalkan kita berusaha untuk bergerak meninggalkan luka itu, yakinlah semesta akan merestui dan menyembuhkan luka itu.

Selepas perceraian orangtuaku, aku mengalami banyak hal sulit. Ibuku melampiaskan rasa frustasinya dengan menenggelamkan dirinya dalam gemerlap dunia malam. Banyak pria tak kukenal mendatangi rumahku. Salah satunya bahkan ayah sahabatku sendiri. Aku kehilangan sahabatku karena perbuatan ibuku. Berbagai rumor tak jelas beredar di kalangan tetangga. Aku harus menanggung malu akibat perbuatan ibu. Aku bahkan harus berpindah kota dan tinggal bersama nenek. Namun, aku sadar, tak seorangpun boleh merenggut duniaku. Aku tidak boleh kalah. Semua orang boleh tidak menyukaiku, tapi aku tidak boleh membenci diriku sendiri. Aku harus mencintai diriku.

Aku melawan stigma negatif masyarakat saat itu dengan prestasi. Aku belajar dengan giat agar mendapat peringkat bagus di sekolah. Aku tidak mau orang-orang meremehkan aku hanya karena perceraian orangtuaku atau perbuatan nista ibuku. Aku bisa menunjukkan bahwa aku berbeda dari kedua orangtuaku. Semua kerja kerasku terbayar. Aku selalu mendapat peringkat bagus di sekolah. Aku merupakan andalan sekolah untuk dikirim sebagai delegasi lomba. Aku memenangi berbagai kejuaraan, baik tingkat provinsi maupun tingkat nasional. Aku bahkan bisa menghasilkan uang dengan menulis. Beberapa artikelku terbit di media massa. Saat itulah, teman-teman dan orang-orang di sekitarku mulai menerima keberadaanku. Mereka mulai mengakui kemampuanku dan tidak lagi meremehkan aku.

Lantas, apakah aku belajar dan bekerja keras hanya karena membutuhkan pengakuan orang lain? Tidak. Sama sekali tidak. Dari awal, aku bahkan tidak peduli mengenai pandangan orang terhadapku. Aku hanya tidak ingin menghabiskan energiku untuk hal-hal negatif. Aku bisa melawan aura negatif dengan energi positif yang aku punya. Ketika aku menerima penghinaan dari orang-orang di sekitarku, alih-alih membalas dengan kekerasan atau hal-hal negatif lainnya, aku lebih memilih untuk melawan dengan sikap yang positif. Dengan demikian, waktuku tidak terbuang sia-sia hanya untuk berfokus pada komentar negatif orang lain yang kita sendiri tidak tahu kapan akan berakhir. Apapun yang kita lakukan akan selalu menuai komentar orang lain. Jadi, tetaplah fokus untuk memaksimalkan energi positif yang kita punya.

Pada akhirnya, waktu yang akan menyembuhkan semuanya. Asalkan kita tidak berhenti bergerak, Tuhan akan melihat usaha kita dan membentu kita keluar dari permasalahan yang kita alami. Aku, seorang anak dari keluarga broken home, yang dihina dan dicaci, mampu membuktikan bahwa aku mampu hidup normal layaknya anak lainnya yang mempunyai orangtua. Tidak semua anak dari kalangan broken home adalah anak yang depresi dan pembuat onar. Aku membuktikan bahwa aku bisa bahagia dengan caraku sendiri. Aku hidup bergelimang prestasi. Aku juga mempunyai banyak teman yang menyayangiku. Semua itu lebih dari cukup untuk membuatku mensyukuri apapun yang diberikan Tuhan kepadaku. Aku tidak lagi menyesali takdir bahwa aku terlahir dari orangtua yang tidak bertanggung jawab.

Aku selalu yakin, dalam lintasan kehidupan bernama waktu, kita akan menemukan potongan puzzle yang cocok yang dapat melengkapi gambaran utuh tentang diri kita. Tidak semua masalah harus diselesaikan dengan segera. Tidak semua masalah butuh solusi. Terkadang, ada masalah yang hanya membutuhkan kita untuk menunggu dan waktu yang akan bertugas menyelesaikan semuanya. Hidup adalah sesederhana kita menunggu bus yang tepat untuk membawa kita ke tujuan yang telah digariskan Tuhan. Tidak perlu terburu-buru menemukan bus yang tepat. Kita hanya perlu menunggu sampai bus itu datang.

Perjuangan Itu Bernama Pendidikan.

Cerita perjalananku meniti kehidupan belum berakhir. Babak lain kehidupanku baru saja dimulai. Aku yang bergelimang prestasi akademik di sekolah ternyata harus menghadapi kenyataan pahit. Aku kesulitan melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi karena masalah klasik, biaya kuliah yang mahal. Aku yang hidup hanya dengan nenek, tanpa  kedua orangtua, harus menelan fakta bahwa aku terancam tidak bisa kuliah. Nenek saat itu menyatakan ketidaksanggupannya membiayai biaya kuliahku dan menyarankan aku untuk mencari pekerjaan saja.

Aku sungguh iri pada teman-temanku yang sudah diterima di kampus idaman mereka, bahkan saat kami belum lulus SMA. Aku menyimak obrolan mereka, bahwa orangtua mereka hanya menyuruh mereka fokus belajar dan tidak perlu ikut memikirkan biaya masuk kampus yang mencapai puluhan juta rupiah. Aku hanya bisa tersenyum getir. Andai orangtuaku berkata demikian padaku, aku pasti akan lebih semangat belajar dan menyasar kampus nomor satu di negeri ini. Tapi, seperti itulah hidup. Arah dan kemauannya tidak dapat dirumuskan dengan persamaan matematis yang eksak. Jika X maka Y tidak berlaku untuk menjelaskan variabel kehidupan yang terlalu rumit. Aku yang saat itu berada di peringkat atas peraih nilai UN tertinggi, ternyata harus kebingungan memikirkan jenjang pendidikan selanjutnya. Sementara itu, teman-teman yang sesumbar sudah diterima di kampus pilihan mereka, justru tidak lulus UN dan harus mengikuti ujian persamaan. Begitulah hidup. Tidak seorangpun yang tahu adegan selanjutnya akan seperti apa. Kita hanya memainkan peran dengan script yang sudah tertulis di tangan Tuhan.

Dalam keputusasaan, keajaiban datang satu per satu. Setelah melantunkan doa dalam malam-malam yang panjang, aku bisa merasakan adanya campur tangan Tuhan. Kepala sekolahku di SMA memanggilku dan mengatakan bahwa aku mendapat beasiswa fully funded dari sebuah yayasan pendidikan untuk melanjutkan jenjang S1 di sebuah kampus swasta. Rasa tidak percaya terus bersemayam di benakku. Sujud syukurku kepada Tuhan yang ternyata tidak pernah meninggalkan aku sendirian. Saat itu, aku menyadari satu hal, bahwa tidak ada doa yang sia-sia. Tuhan selalu mendengarkanmu, bahkan saat kamu lupa menyapa-Nya. Bagaimana jika doamu belum terkabul? Tuhan akan kabulkan di waktu yang lebih tepat atau Dia akan memberikan ganti yang lebih baik. Semua itu hanya soal waktu.

Sejak kecil, aku berjuang untuk mendapatkan pendidikan yang setara dengan teman-teman lainnya. Pendidikan merupakan hal yang mahal yang harus kuperjuangkan sekuat tenaga. Mungkin hal ini terdengar remeh bagi mereka yang beruntung mendapatkan akses pendidikan yang memadai. Impian masa kecilku adalah dapat sekolah setinggi-tingginya. Aku mungkin tidak mempunyai harta dan keluarga, tapi setidaknya aku dapat mengenyam pendidikan dengan baik. Aku yakin pendidikan merupakan jalan untuk mengubah nasib.

Aku lulus S1 dengan predikat cumlaude dan merupakan wisudawan terbaik di angkatanku. Aku membuat nenekku meneteskan air matanya di hari wisudaku. Tak lama setelah aku lulus S1, aku mendapat pekerjaan di yayasan yang memberikan aku beasiswa. Lantas, apakah aku berpuas diri? Tidak. Masih ada banyak mimpi dalam genggamanku yang ingin aku wujudkan. Aku melangitkan doa agar diberi kesempatan untuk melanjutkan pendidikan jenjang S2. Sebuah hal yang hampir terdengar mustahil bagi orang sepertiku.

Perjalananku untuk mewujudkan impian S2 tidaklah mudah. Aku membutuhkan waktu selama lima tahun sejak aku lulus S1. Selama lima tahun itu, aku mengalami kegagalan berulang kali. Aku mendaftar berbagai macam beasiswa S2 dan berujung gagal. Apakah aku menyerah? Tidak. Masih terlalu dini bagiku untuk menyerah. Aku mulai memfokuskan targetku untuk membidik kampus tujuanku. Aku menyiapkan diriku untuk mengikuti seleksi beasiswa yang kesekian kalinya. Kali ini aku lebih fokus dan membuat target yang jelas. Aku memang mencoba lagi, tapi aku berusaha tidak mengulangi kesalahan yang sama di percobaan kali ini. Aku serius meningkatkan kemampuan bahasa inggris dengan mengikuti kursus bahasa di malam hari selepas aku bekerja. Aku meningkatkan wawasan umum dengan banyak membaca berita. Kali ini, aku mencoba membidik target bernama beasiswa dengan anak panah yang baru.

Di waktu yang Tuhan telah tetapkan, salah satu impianku itu akhirnya lepas ke langit, direstui-Nya untuk menjadi kenyataan. Aku lulus seleksi beasiswa S2 dan mendapat kesempatan untuk melanjutkan kuliah pascasarjana di sebuah kampus negeri ternama. Tidak hanya mendapat kesempatan untuk bisa menempuh pendidikan magister, aku bahkan mendapatkan kesempatan untuk mengikuti konferensi internasional. Aku menjadi salah satu dari tiga delegasi Indonesia yang berkesempatan mempresentasikan karya ilmiah di hadapan para profesor dari kampus ternama dunia. Selain itu, aku juga terpilih sebagai best presenter di ajang yang dihadiri oleh banyak cendekiawan dari berbagai negara. Aku, seorang anak dari keluarga broken home yang hidup serba kekurangan, mempunyai kemampuan yang tidak kalah dibandingkan anak lain yang hidup berkecukupan. Ini merupakan bonus dari sekian banyak hadiah yang Tuhan kirimkan kepadaku. Kelamnya latar belakang keluarga dan semua keterbatasan yang aku punya bukanlah alasan bagiku untuk berhenti bergerak.

Pada akhirnya, gagal dan berhasil itu hanyalah soal waktu. Mungkin saat ini kita gagal, tetapi kegagalan itu justru akan membuka pintu kesuksesan yang lainnya. Saat kita gagal dan tidak berhenti, Tuhan akan menunjukkan kita peluang lain agar kita bisa menuai kesuksesan. Namun, saat kita sukses dan cepat berpuas diri, tidak menutup kemungkinan kita akan terperosok ke dalam jurang kegagalan lainnya yang belum kita jumpai. Kegagalan, kesuksesan, kesedihan, dan kebahagiaan hanyalah sebuah fase kehidupan yang harus kita lalui dalam dimensi waktu yang berbeda. Jika saat ini kita gagal dan bersedih, tetaplah bergerak maju walaupun dengan langkah tertatih. Esok hari, yakinlah kita mempunyai kesempatan untuk berhasil dan bahagia. Kegagalan bukan untuk diratapi. Kegagalan juga bukan alasan untuk menyalahkan orang lain sebagai penyebab atas kegagalan kita. Bahkan, ilmuwan sekelas Thomas Alva Edison pun kenyang dengan kegagalan. Namun, dia tidak mau menyebut dirinya telah gagal. Dia hanya sedang beruntung menemukan jalan yang belum tepat.

I haven’t failed. I just found 10.000 ways that won’t work.” (Thomas Alva Edison)

Tuhan tidak meminta kita untuk menemukan solusi atas kegagalan kita. Tugas kita hanyalah menyusuri lini masa kehidupan ini dengan terus mengenggam keyakinan bahwa Tuhan selalu memberikan kita yang terbaik di waktu yang tepat.


Tulisan ini telah diikutkan pada lomba kisah inspiratif nasional yang diadakan oleh Antologi Kata pada tahun 2020.

Comments

Popular posts from this blog

Pelatihan Laporan Keuangan Sederhana Pada Kelompok UMKM Kalisidi

Economic Festival Night 2022

Accounting in Society: Berbagi bersama Belajar Menyenangkan