TELAAH KRITIS ADOPSI IFRS DI INDONESIA
Oleh : Suhita Whini Setyahuni
ABSTRACT
Capitalism is believed had the worse bad impact than its benefit.
Capitalism drives people to get profit as much as they can without considering
the interest of others. In order to win a competition, firms will behave
opportunistically by exploiting resources that can be used to maximize wealth.
Accounting as part of a business process can be influenced by the value of
capitalism. Exploitation on the use of natural resources and labour bring a necessary to build a single set international
accounting standard. Adopting of IFRS as an Indonesian Financial Standard (SAK)
implies the penetration of capitalism value into the social system of
Indonesia. On the process of IFRS adoption, it should consider culture value including the moral and ethical value of
Indonesia. Therefore, before build a new Indonesian accounting standard, we
should change the objective of financial reporting. Accountability is the
proper objective of financial reporting activities rather than decision making.
Accountability will drive firms and management to be responsible for both
humans and environments. Moreover, the assessment of corporate performance
should be revised. Activities that assessed with profit indicator will bring to
fraud behaviour. In this case, zakat as welfare instrument is the right concept
to measure corporate performance rather than financial profit. By reading a
financial report with Zakat as the main focus, Investor’s decision in investing
their fund will be driven by a willingness to contribute on social welfare as
the whole.
Keywords: IFRS adoption, the trap of capitalism,
culture value, financial accounting standard.
PENDAHULUAN
Akuntansi sebagai produk budaya tidak bisa
dilepaskan dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Akuntansi tidak mungkin
bisa menjadi value free karena yang
membentuk akuntansi adalah manusia, yang mempunyai kepribadian dan kepentingan
untuk tujuannya sendiri. Sebagai value
laden, akuntansi tentu saja akan mengusung nilai yang melekat di tubuhnya
yang ikut tersaji bersama konten informasi sebagai output dari akuntansi itu
sendiri. Kandungan informasi dalam akuntansi saat ini sarat dengan muatan nilai
egoistik dan materialistik (Triyuwono : 2006). Hal ini sangatlah wajar. Manusia
sebagai pemilik sifat egois dan serakah, ketika diminta untuk mendesain praktik
akuntansi, maka sifat opportunistik itulah yang kemudian secara sadar maupun
tidak sadar masuk ke dalam tubuh akuntansi. Informasi yang telah mengandung
nilai egoistik dan opportunistik, apabila digunakan oleh penggunanya dan
dijadikan dasar sebagai pengambilan keputusan, akan menghasilkan keputusan yang
sifatnya egoistik pula.
Berbicara struktur sosial masyarakat, ada
dua aliran besar ekonomi dalam masyarakat, yaitu sosialisme dan kapitalisme.
Keduanya mengusung konsep yang kontradiktif. Dengan digulirkannya isu
globalisasi di seluruh dunia dan cita-cita untuk menjadikan dunia sebagai boarderless merupakan usaha untuk
menyemaikan benih kapitalisme agar tumbuh subur di berbagai negara, tak terkecuali
Indonesia. Kapitalisme dipercaya dapat membuat kehidupan masyarakat lebih baik,
meningkatkan daya saing dan memicu kreativitas individu masyarakat. Menurut
Nugrahanti (2016) beberapa dampak baik kapitalisme diantaranya adalah : a)
mendorong laju pertumbuhan perekonomian secara signifikan, b) mendorong tingkat
harga ke tingkat wajar dan rasional, c) memberikan motivasi bagi para pelaku
ekonomi untuk bersaing menjadi yang
terbaik, karena jika tidak menjadi yang terbaik akan dengan sendirinya tersingkirkan
oleh mekanisme pasar bebas.
Namun, dampak buruk kapitalisme bagi
kehidupan masyarakat juga tidak bisa dianggap remeh. Bahkan mungkin lebih buruk
daripada manfaat yang ditawarkan oleh kapitalisme. Lebih lanjut, Nugrahanti
(2016) menyatakan eberapa kelemahan dari sistem kapitalisme diantaranya adalah
: a) kapitalisme menimbulkan ketidakadilan. Hak kepemilikan dan kebebasan
perseorangan sangat dijunjung tinggi menyebabkan bencana ketidakadilan dan
merugikan masyarakat, b) kapitalisme menjadi penyebab kerusakan lingkungan.
Dengan digerakkan oleh motif keuntungan sebesar-besarnya, kaum kapitalisme
merasa diperbolehkan mengeksploitasi alam sesuka hati asalkan dirinya dan
kelompoknya mendapatkan keuntungan. Tidak ada yang peduli dampak kerusakan
lingkungan bagi msyarakat, c) kapitalisme menyebabkan kesenjangan dan
melestarikan kemiskinan. Dampak dari ketidakadilan ekonomi adalah yang kaya
semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Pertumbuhan ekonomi negara hanya
dinikmati oleh segelintir kelompok. Sektor produksi digenjot dengan target
menghasilkan produk barang secepat mungkin, efisien, serta dalam jumlah yang
banyak. Jumlah barang melimpah tetapi daya beli masyarakat menurun akibat
ketidakseimbangan sistem buruh.
Akuntansi sebagai alat sosial dan merupakan
bagian dari sistem perekonomian juga mau tak mau mengalir darah kapitalisme di
dalamnya. Proses dan output yang dihasilkan oleh akuntansi hanya digunakan
untuk memenuhi kebutuhn pemilik modal terkait informasi kekayaan mereka. Karena
ruh akuntansi adalah kapitalisme, maka standar akuntansi yang lahir sebagai
pedoman penyusunan laporan keuangan juga mempunyai jiwa kapitalisme. Karena
negara penyusun standar akuntansi adalah negara yang menganut paham
kapitalisme.
Lalu bagaimana roadmap standar akuntansi di
Indonesia? Mengapa standar akuntansi yang berlaku di Indonesia juga memiliki value kapitalisme? Dalam
perkembangannya, standar akuntansi Indonesia pada awalnya mengacu pada standar
akuntansi Amerika (US GAAP), yang mana kita tahu bahwa Amerika Serikat merupakan
negara pengusung ideologi kapitalisme. Sejak tahun 2008, Indonesia mulai
melakukan konvergensi standar akuntansi ke arah IFRS. Konvergensi standar
akuntansi Indonesia ke dalam IFRS disebabkan karena tekanan dunia internasional
agar IFRS diterapkan secara global di seluruh negara di dunia. Alasan penerapan
standar tunggal tidak lain adalah untuk memenuhi kebutuhan pasar modal. Berbicara
pasar modal, tentu saja aktivitas yang dilakukan adalah investasi. Singkatnya,
penerapan standar tunggal di seluruh dunia digunakan kebutuhan investor agar
mudah melakukan investasi secara global di seluruh dunia. Penerapan IFRS
sebagai standar tunggal mengabaikan unsur nilai-nilai budaya yang berbeda antar
negara.
Kritik terhadap penerapan standar tunggal
bukan merupakan hal yang baru. Gray (1983) menyatakan bahwa perbedaan praktik pelaporan
laporan keuangan disebabkan karena perbedaan budaya yang memang tidak dapat
disatukan. Hal ini seharusnya menjadi pertimbangan utama penyusun standar
internasional. Fantl (1971) menyatakan standar internasional merupakan sebuah
solusi yang teramat sederhana untuk sebuah permasalahan yang demikian kompleks.
Kritik lain datang dari Choi dan Mueler (1998) yang menyatakan bahwa
harmonisasi standar akuntansi merupakan bentuk kolonialisme. IFRS yang dibidani
oleh IASB memiliki penyandang dana perusahaan raksasa dunia MNC group. MNC
menjadikan akuntansi sebagai alat untuk mewujudkan imperialisme global (Choi
dan Mueller, 1998).
Tulisan ini berusaha menjelaskan bagaimana
pengadopsian IFRS yang dilakukan oleh IAI telah berkontribusi dalam menginjeksi
value kapitalisme di Indonesia.
Pembahasan dalam tulisan ini mencakup akuntansi dan kapitalisme, jebakan
kapitalisme dalam IFRS, pengembangan standar akuntansi yang sesuai nilai
Indonesia, dan penutup. Metode yang digunakan dalam tulisan ini adalah telaah
literatur dengan pemikiran kritis yang bertujuan untuk mencari pola perbaikan
atas standar akuntansi di Indonesia.
AKUNTANSI
DAN KAPITALISME
Beberapa tokoh ekonom dan peneliti
menyatakan ada hubungan akuntansi dengan kapitalisme. Chiapello (2007)
menyatakan bahwa akuntansi memiliki peran penting dalam melestarikan
kapitalisme. Tinker dan Neimark (1988) melakukan serangkaian penelitian di
General Motor dalam kurun waktu 1917-1976. Mereka mengungkapkan bahwa fokus
informasi dalam laporan keuangan General Motor cenderung berubah-ubah sesuai
kondisi struktur kapitalisme yang cenderung tidak stabil. Pada saat gejala
sistem kapitalisme menunjukkan pelemahan permintaan atas produk oleh konsumen,
laporan tahunan mengungkapkan informasi untuk menimbulkan kesan bahwa pembelian
mobil baru secara rutin adalah norma sosial yang wajar dan dapat diterima. Pada
saat yang berlainan, ketika gejala ekonomi menunjukkan ketidakstabilan dan ada
pergerakan buruh, laporan tahunan memberikan informasi bahwa pekerja seharusnya
bekerja sama dan menunjukkan sikap kooperatif dengan manajer dan bukan
menentang. Informasi yang disajikan dalam laporan tahunan perusahaan tidak
mampu memotret realita yang sebenarnya terjadi. Informasi dalam laporan tahunan
hanya digunakan untuk kepentingan pemilik perusahaan yang sejatinya adalah
memberikan perlindungan terhadap kekayaan pemilik.
Berkaitan
dengan hal tersebut, Deegan (2007) menyatakan bahwa akuntansi telah gagal
menjalankan fungsinya sebagai social tool
dan tidak mampu berperan tanpa memihak kepentingan salah satu stakeholder.
Akuntansi diharapkan mampu menjadi alat komunikasi untuk menyelesaikan
permasalahan yang terjadi di masyarakat dan bukan sebagai alat untuk
melegitimasi kapitalisme. Disini, akuntansi justru berperan memberikan
prioritas kepada sekelompok orang yang mempunyai power untuk menguasai kehidupan ekonomi seluruh lapisan masyarakat
dengan pengendalian dan aturan-aturan yang dimilikinya.
Nilai
kapitalisme juga tercermin dalam standar akuntansi yang dijadikan sebagai
pedoman untuk melakukan praktik akuntansi. Nuansa kapitalisme pertama kali
dapat ditemukan dalam kerangka konseptual baik kerangka konseptual milik FASB
maupun IASB. FASB menyatakan bahwa tujuan dari pelaporan keuangan adalah :
Sedangkan kerangka konseptual IASB
menyatakan tujuan pelaporan keuangan sebagai berikut :
Dari uraian kerangka konseptual di atas dapat
dinyatakan bahwa tujuan laporan keuangan merupakan implementasi dari value kapitalisme (Adam, 2008). Dalam konteks ini, pengguna dari laporan
keuangan sebagian besar dimaknai sebagai pemegang saham dan kreditur.
Pengambilan keputusan terkait penggunaan sumber daya perusahaan erat kaitannya
dengan efisiensi biaya dan maksimalisasi laba. Dalam konsep ini, kepentingan
pihak-pihak yang termarjinalkan belum dapat diakomodasi oleh akuntansi.
Akuntansi belum bisa menyajikan informasi untuk kepentingan buruh ataupun
masyarakat di lingkungan dimana perusahaan tersebut berdiri. Informasi mengenai
kesejahteraan SDM maupun informasi mengenai kontribusi perusahaan bagi
kesejahteraan masyarakat belum tersajikan dalam laporan keuangan.
Standar
akuntansi berubah dari waktu ke waktu, tetapi nilai yang diusung di dalamnya
tetaplah nilai kapitalisme. Begitupun yang terjadi di Indonesia. Indonesia
hanya berganti kiblat dari GAAP ke IFRS, namun nilai yang ada di dalam kedua
standar tersebut tetaplah kapitalisme.
JEBAKAN
KAPITALISME DALAM IFRS
Penerapan IFRS di Indonesia pertama kali
pada tahun 2008. Perubahan dari GAAP ke IFRS dilakukan secara bertahap.
Pengadopsian IFRS ke Indonesia membuat peran Dewan Standar Akuntansi (DSAK)
menjadi berubah. DSAK tidak lagi menyusun standar akuntansi, namun
menerjemahkan IFRS untuk bisa diterapkan di Indonesia. Proses adopsi IFRS
secara penuh selesai pada tahun 2012. Proses penerjemahan ke dalam SAK mungkin
mempertimbangkan karakteristik bisnis di Indonesia. Namun, ada yang terlewatkan
dalam proses adopsi IFRS. Pertimbangan value
mungkin luput dari perhatian IAI pada saat proses pengadopsian IFRS. Value
yang terkandung dalam IFRS tidak sesuai dengan value yang dianut oleh
Indonesia. Nilai kebersamaan dan kesejahteraan bersama sama sekali tidak
tercermin dalam IFRS yang mengusung nilai kapitalisme.
Selain pertimbangan biaya, desakan lingkungan
bisnis memaksa Indonesia untuk mengadopsi IFRS. Dari segi biaya, tentu lebih
murah apabila menerjemahkan IFRS menjadi standar akuntansi Indonesia daripada
harus menyusun standar yang sesuai dengan karakteristik Indonesia. Beberapa
manfaat yang sering didengungkan ke publik di balik proses pengadopsian IFRS
diantaranya adalah : a) meningkatkan kualitas SAK, b) mengurangi biaya
pembuatan standar, c) meningkatkan kualitas laporan keuangan, d) meningkatkan
keterbandingan laporan keuangan dengan dunia internasional, e) meningkatkan
efisiensi penyusunan laporan keuangan. Manfaat lainnya dari pengadopsian IFRS
yang sering dibanggakan oleh IAI adalah mendorong masuknya arus investasi
global. Namun, secara tidak sadar peningkatan arus investasi asing juga merupakan
jalan masuk bagi kapitalisme. Dengan masuknya investasi asing, berarti telah
mengijinkan pemodal asing mengeksploitasi sumber daya alam dan tenaga kerja
Indonesia. Outcome peningkatan kesejahteraan dan pengurangan kemiskinan masih
belum tercapai , jika diukur dengan output ketersediaan lapangan kerja. Investasi
asing memberikan peluang bagi pemodal asing untuk memperkaya diri dan semakin
menimbulkan kesenjangan sosial yang semakin melebar di Indonesia.
Pengadopsian IFRS yang ditujukan untuk
meningkatkan laju investasi global pada dasarnya bertentangan dengan Pasal 33
Ayat 1 UUD 1945, yang menyebutkan “Perekonomian
disusun atas dasar asas kekeluargaan”. Lebih lanjut, Pasal 33 ayat 2
menyebutkan bahwa “Cabang-cabang industri
yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh
negara”. Dalam Pasal 33 ayat 3 disebutkan “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan seluas-luasnya untuk kepentingan rakyat”. Dari sini
kita bisa menarik sebuah pola, bahwa IFRS telah menggiring Indonesia untuk
meninggalkan perekonomian yang berlandaskan pada asas kekeluargaan. Sumber daya
alam yang seharusnya dapat dikuasai oleh negara untuk dapat dimanfaatkan untuk
kepentingan kesejahteraan rakyat, dapat tersingkirkan dan dikuasai pemodal
asing yang masuk melalui pintu bernama IFRS.
Ditinjau dari sisi kontennya, IFRS
mempunyai tiga karakteristik dasar yang membuatnya berbeda dari GAAP. Pertama,
IFRS menganut principal based,
sementara GAAP menganut rule based. Dalam
principal based, yang diatur hanyalah
pokok-pokoknya saja, tidak mengatur secara rinci. Penerapan principal based membutuhkan judgement profesional dari akuntan. Kedua, penggunaan nilai wajar dalam IFRS
dianggap dapat meninngkatkan relevansi laporan keuangan daripada historical cost seperti yang digunakan
oleh GAAP. Ketiga, dalam IFRS disarankan melakukan pengungkapan informasi dalam
lingkup yang lebih luas, agar pengguna mendapatkan informasi yang komprehensif
untuk digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan.
Menurut Stojilkovic (2010) penilaian
dengan menggunakan nilai wajar merupakan bentuk neoliberalisme kapitalisme. Selain itu, akuntansi nilai wajar
merupakan cara untuk mencari laba dalam
jumlah yang lebih besar. Penggunaan nilai wajar dianggap sebagai cara untuk
meningkatkan relevansi informasi akuntansi. Namun, ada hal yang terlupa di
balik penerapan nilai wajar. Penilaian seberapa tingkat nilai wajar akan sangat
tergantung pada professional judgement
dari akuntan dengan menggunakan metode dan teknik tertentu. Lebih lanjut,
Stojilkovic (2010) menyatakan bahwa semakin besar proporsi penilaian nilai
wajar berdasarkan judgement, maka
akan semakin menurunkan tingkat validitas laporan keuangan disebabkan oleh
tingginya peluang terjadinya manipulasi. Hal ini karena judgement bersifat sangat subjektif.
Sebagai konsekuensi dari adanya penilaian
nilai wajar, dalam IFRS timbul adanya unrealized
gain. Jika dicermati, unrealized gain
ini merupakan upaya untuk memperbesar nilai akumulasi laba. Maksimalisasi
laba atau kekayaan (wealth maximization)
merupakan ciri khas utama kapitalisme. Menurut Nugrahanti (2016) penerapan IFRS
akan menggiring suatu negara masuk ke dalam jebakan kapitalisme liberalisasi financial market. Sulistyowati
(2010) menyatakan bahwa salah satu kepentingan IFRS adalah memastikan laporan
arus kas dapat dijadikan sebagai alat untuk memetakan kekuatan perusahaan,
dengan tujuan menghasilkan uang dalam jumlah besar. Mesin penggerak kapitalisme
berupa pasar modal bukan merupakan alat penggerak ekonomi masyarakat seperti
yang selama ini kita pahami. Pasar modal diciptakan dengan hanya satu tujuan,
yaitu menjadi mesin yang menghasilkan banyak uang dan aliran uang tidak
terkontrol oleh Pemerintah maupun lembaga-lembaga keuangan. Ekonomi suatu
negara dapat dimainkan oleh segelintir kelompok orang melalui pasar modal. IFRS
merupakan alat bantu untuk mencapai misi kemudahan mengakses pasar modal secara
global di seluruh dunia. Dengan diterapkannya IFRS di Indonesia, telah
mengantarkan Indonesia pada gerbang perangkap kapitalisme yang sarat akan
keserakahan dan mengabaikan nilai-nilai kebersamaan (Nugrahanti. 2016).
PENGEMBANGAN
STANDAR AKUNTANSI YANG SESUAI NILAI INDONESIA
Pengadopsian
IFRS mungkin merupakan sebuah keniscayaan agar Indonesia tetap dipertimbangkan
dan dilibatkan dalam perekonomian dunia. Untuk membangun sebuah perekonomian
yang kokoh tidak selalu harus mengikuti arus utama perekonomian yang dianut
banyak negara. Mengembangkan kearifan lokal dan menggunakan nilai budaya
sendiri yang lebih baik akan mendorong ciri khas dalam tatanan perekonomian
yang mungkin tidak dimiliki oleh negara lain. Penerapan IFRS juga tidak harus
dengan transliterasi penuh. Pertimbangan nilai budaya harus dimasukkan dalam
proses penyusunan standar akuntansi, termasuk dalam proses pengadopsian IFRS.
Sebelum
melakukan penyusunan standar akuntansi, ada baiknya melakukan perubahan tujuan
pelaporan keuangan terlebih dahulu. Tujuan menjadi hal yang penting, karena
merupakan alasan sekaligus titik awal mengapa sebuah laporan keuangan disusun.
Apabila IFRS dan GAAP sama-sama merumuskan tujuan yang memuat nilai
kapitalisme. Indonesia seharusnya menghilangkan nilai kapitalisme dalam
perumusan tujuan itu sendiri. Menurut Hafizah (2004) perlu adanya perubahan
tujuan dari decision making menjadi accountability. Tujuan pengambilan
keputusan atau decision making, telah
memasukkan adanya unsur kepentingan dari pihak-pihak tertentu, yang pada
akhirnya akan mengerucut pada pihak yang mempunyai power. Berbeda dengan tujuan pelaporan keuangan untuk
akuntabilitas. Akuntabilitas dimaknai sebagai bentuk pertanggungjawaban
perusahaan terhadap seluruh aktivitas operasionalnya. Perusahaan menyadari
bahwa untuk dapat beroperasional, perusahaan membutuhkan dukungan dan
legitimasi termasuk dukungan pendanaan dari masyarakat. Oleh karena itu,
perusahaan harus melakukan pertanggungjawaban dengan mengungkapkan seluruh
informasi apa adanya yang terjadi selama siklus operasional perusahaan. Menurut
Nugrahanti (2016) selain memberikan informasi kuantitatif, akuntansi juga harus
menyediakan informasi yang bersifat kualitatif, agar masyarakat dapat
memperoleh informasi yang komprehensif.
Berbicara
tentang akuntabilitas, sebenarnya konsep ini dapat dijabarkan menjadi makna
yang lebih luas. Triyuwono (2006) menyebutkan bahwa akuntabilitas terbagi
menjadi dua jenis, yaitu : akuntabilitas horizontal dan akuntabilitas vertikal.
Akuntabilitas horizontal berkaitan dengan bentuk pertanggungjawaban manusia
kepada sesama manusia dan alam sekitarnya. Sedangkan akuntabilitas vertikal
berkaitan dengan bentuk pertanggungjawaban manusia kepada Tuhannya. Dari
substansi dari kedua bentuk akuntabilitas tersebut, jika dijabarkan dalam
standar akuntansi, maka dimensi yang digunakan bukan lagi ukuran laba ataupun
rugi. Melainkan, perusahaan juga harus melaporkan aktivitas kontribusinya dalam
rangka meningkatkan kesejahteraan sesama manusia dan menjaga kelestarian alam
(Triyuwono, 2006).
Hal
selanjutnya yang perlu menjadi perhatian saat penyusunan standar adalah
mengenai konsep laba. Laba dalam akuntansi saat ini dijadikan indikator untuk
pengukuran kinerja. Semakin tinggi laba atau tingkat profitabilitas, semakin
tinggi pula return untuk investor, kinerja perusahaan tersebut akan dinilai
semakin baik. Ketika penilaian baik-buruk sebuah perusahaan hanya dilihat dari
sudut pandang materi, maka akan terjadi banyak perilaku menyimpang. Perilaku
menyimpang manajemen karena digerakkan oleh keserakahan yang secara implisit
ada dalam orientasi penyusunan laporan keuangan. Standar akuntansi harus dapat
menjadi guide bagi praktik penyusunan
laporan keuangan dan harus mampu meminimalisasi efek materialistis dari dimensi
laba. Jika tadi disebutkan bahwa tujuan pelaporan keuangan adalah salah satunya
untuk akuntabilitas horizontal, maka kontribusi kepada masyarakat merupakan
konsep yang lebih tepat dalam menggantikan laba sebagai indikator kinerja.
Zakat dapat dijadikan instrumen keuangan yang memiliki nilai kontribusi kepada
masyarakat (Triyuwono,2006). Zakat dapat dijadikan indikator kinerja, bahwa
semakin banyak zakat yang dikeluarkan, semakin banyak manfaat yang diterima
oleh masyarakat, kinerja perusahaan menjadi semakin baik. Format laporan yang
ada tidak lagi menyajikan laba rugi sebagai fokus utama, melainkan zakat
sebagai instrumen kesejahteraan masyarakat, yang akan dijadikan sebagai fokus
laporan keuangan. Laba rugi hanya disajikan sebagai dasar untuk perhitungan
zakat. Dengan demikian, saat membaca laporan keuangan perusahaan, keputusan
yang dibuat oleh investor dalam menanamkan investasinya bukan lagi digerakkan
oleh ruh keserakahan yang ingin mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya,
melainkan digerakkan oleh semangat berkontribusi kepada masyarakat, berlomba
menjadi yang terbaik dalam hal peningkatan kesejahteraan masyarakat.
KESIMPULAN
Kapitalisme telah melekat pada proses bisnis dan sistem ekonomi di banyak negara di dunia. Kebutuhan ekspansi bisnis dan upaya untuk mendapatkan sumber daya alam dan tenaga kerja yang murah menuntut dilahirkannya standar internasional yang diterapkan tunggal di seluruh dunia. Adopsi IFRS membawa implikasi pada internalisasi nilai budaya kapitalisme ke dalam sistem sosial di Indonesia. IFRS membawa Indonesia masuk ke dalam pusaran arus kapitalisme yang telah menggeser nilai-nilai kebaikan yang ada dalam budaya Indonesia. Akan lebih bijak jika dalam mengembangkan standar akuntansi, nilai-nilai budaya tersebut dipertimbangkan. Dalam proses penyusunan standar perlu terlebih dahulu merubah tujuan dari pelaporan keuangan dan juga konsep pengukuran kinerja. Tujuan pelaporan keuangan bukan lagi digunakan untuk pengambilan keputusan melainkan sebagi akuntabilitas atau bentuk pertanggungjawaban perusahaan baik kepada sesama manusia,alam, dan Tuhan. Dalam mengukur kinerja, zakat dapat digunakan sebagai pengganti konsep laba yang selama ini dijadikan sebagai indikator kinerja. Dengan menggunakan zakat sebagai acuan penilaian kinerja, seluruh aktivitas yang melibatkan stakeholder, baik investasi, operasional, maupun pendanaan akan digerakkan oleh semangat berkontribusi kepada masyarakat demi menjaga dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat
Comments
Post a Comment