TELAAH KRITIS ADOPSI IFRS DI INDONESIA

 Oleh : Suhita Whini Setyahuni

ABSTRACT

Capitalism is believed had the worse bad impact than its benefit. Capitalism drives people to get profit as much as they can without considering the interest of others. In order to win a competition, firms will behave opportunistically by exploiting resources that can be used to maximize wealth. Accounting as part of a business process can be influenced by the value of capitalism. Exploitation on the use of natural resources and labour bring a necessary to build a single set international accounting standard. Adopting of IFRS as an Indonesian Financial Standard (SAK) implies the penetration of capitalism value into the social system of Indonesia. On the process of IFRS adoption, it should consider culture value including the moral and ethical value of Indonesia. Therefore, before build a new Indonesian accounting standard, we should change the objective of financial reporting. Accountability is the proper objective of financial reporting activities rather than decision making. Accountability will drive firms and management to be responsible for both humans and environments. Moreover, the assessment of corporate performance should be revised. Activities that assessed with profit indicator will bring to fraud behaviour. In this case, zakat as welfare instrument is the right concept to measure corporate performance rather than financial profit. By reading a financial report with Zakat as the main focus, Investor’s decision in investing their fund will be driven by a willingness to contribute on social welfare as the whole.

 

Keywords: IFRS adoption, the trap of capitalism, culture value, financial accounting standard.

 

PENDAHULUAN

Akuntansi sebagai produk budaya tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Akuntansi tidak mungkin bisa menjadi value free karena yang membentuk akuntansi adalah manusia, yang mempunyai kepribadian dan kepentingan untuk tujuannya sendiri. Sebagai value laden, akuntansi tentu saja akan mengusung nilai yang melekat di tubuhnya yang ikut tersaji bersama konten informasi sebagai output dari akuntansi itu sendiri. Kandungan informasi dalam akuntansi saat ini sarat dengan muatan nilai egoistik dan materialistik (Triyuwono : 2006). Hal ini sangatlah wajar. Manusia sebagai pemilik sifat egois dan serakah, ketika diminta untuk mendesain praktik akuntansi, maka sifat opportunistik itulah yang kemudian secara sadar maupun tidak sadar masuk ke dalam tubuh akuntansi. Informasi yang telah mengandung nilai egoistik dan opportunistik, apabila digunakan oleh penggunanya dan dijadikan dasar sebagai pengambilan keputusan, akan menghasilkan keputusan yang sifatnya egoistik pula.

Berbicara struktur sosial masyarakat, ada dua aliran besar ekonomi dalam masyarakat, yaitu sosialisme dan kapitalisme. Keduanya mengusung konsep yang kontradiktif. Dengan digulirkannya isu globalisasi di seluruh dunia dan cita-cita untuk menjadikan dunia sebagai boarderless merupakan usaha untuk menyemaikan benih kapitalisme agar tumbuh subur di berbagai negara, tak terkecuali Indonesia. Kapitalisme dipercaya dapat membuat kehidupan masyarakat lebih baik, meningkatkan daya saing dan memicu kreativitas individu masyarakat. Menurut Nugrahanti (2016) beberapa dampak baik kapitalisme diantaranya adalah : a) mendorong laju pertumbuhan perekonomian secara signifikan, b) mendorong tingkat harga ke tingkat wajar dan rasional, c) memberikan motivasi bagi para pelaku ekonomi untuk bersaing  menjadi yang terbaik, karena jika tidak menjadi yang terbaik akan dengan sendirinya tersingkirkan oleh mekanisme pasar bebas.

Namun, dampak buruk kapitalisme bagi kehidupan masyarakat juga tidak bisa dianggap remeh. Bahkan mungkin lebih buruk daripada manfaat yang ditawarkan oleh kapitalisme. Lebih lanjut, Nugrahanti (2016) menyatakan eberapa kelemahan dari sistem kapitalisme diantaranya adalah : a) kapitalisme menimbulkan ketidakadilan. Hak kepemilikan dan kebebasan perseorangan sangat dijunjung tinggi menyebabkan bencana ketidakadilan dan merugikan masyarakat, b) kapitalisme menjadi penyebab kerusakan lingkungan. Dengan digerakkan oleh motif keuntungan sebesar-besarnya, kaum kapitalisme merasa diperbolehkan mengeksploitasi alam sesuka hati asalkan dirinya dan kelompoknya mendapatkan keuntungan. Tidak ada yang peduli dampak kerusakan lingkungan bagi msyarakat, c) kapitalisme menyebabkan kesenjangan dan melestarikan kemiskinan. Dampak dari ketidakadilan ekonomi adalah yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Pertumbuhan ekonomi negara hanya dinikmati oleh segelintir kelompok. Sektor produksi digenjot dengan target menghasilkan produk barang secepat mungkin, efisien, serta dalam jumlah yang banyak. Jumlah barang melimpah tetapi daya beli masyarakat menurun akibat ketidakseimbangan sistem buruh.

Akuntansi sebagai alat sosial dan merupakan bagian dari sistem perekonomian juga mau tak mau mengalir darah kapitalisme di dalamnya. Proses dan output yang dihasilkan oleh akuntansi hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhn pemilik modal terkait informasi kekayaan mereka. Karena ruh akuntansi adalah kapitalisme, maka standar akuntansi yang lahir sebagai pedoman penyusunan laporan keuangan juga mempunyai jiwa kapitalisme. Karena negara penyusun standar akuntansi adalah negara yang menganut paham kapitalisme.

Lalu bagaimana roadmap standar akuntansi di Indonesia? Mengapa standar akuntansi yang berlaku di Indonesia juga memiliki value kapitalisme? Dalam perkembangannya, standar akuntansi Indonesia pada awalnya mengacu pada standar akuntansi Amerika (US GAAP), yang mana kita tahu bahwa Amerika Serikat merupakan negara pengusung ideologi kapitalisme. Sejak tahun 2008, Indonesia mulai melakukan konvergensi standar akuntansi ke arah IFRS. Konvergensi standar akuntansi Indonesia ke dalam IFRS disebabkan karena tekanan dunia internasional agar IFRS diterapkan secara global di seluruh negara di dunia. Alasan penerapan standar tunggal tidak lain adalah untuk memenuhi kebutuhan pasar modal. Berbicara pasar modal, tentu saja aktivitas yang dilakukan adalah investasi. Singkatnya, penerapan standar tunggal di seluruh dunia digunakan kebutuhan investor agar mudah melakukan investasi secara global di seluruh dunia. Penerapan IFRS sebagai standar tunggal mengabaikan unsur nilai-nilai budaya yang berbeda antar negara.

Kritik terhadap penerapan standar tunggal bukan merupakan hal yang baru. Gray (1983) menyatakan bahwa perbedaan praktik pelaporan laporan keuangan disebabkan karena perbedaan budaya yang memang tidak dapat disatukan. Hal ini seharusnya menjadi pertimbangan utama penyusun standar internasional. Fantl (1971) menyatakan standar internasional merupakan sebuah solusi yang teramat sederhana untuk sebuah permasalahan yang demikian kompleks. Kritik lain datang dari Choi dan Mueler (1998) yang menyatakan bahwa harmonisasi standar akuntansi merupakan bentuk kolonialisme. IFRS yang dibidani oleh IASB memiliki penyandang dana perusahaan raksasa dunia MNC group. MNC menjadikan akuntansi sebagai alat untuk mewujudkan imperialisme global (Choi dan Mueller, 1998).

Tulisan ini berusaha menjelaskan bagaimana pengadopsian IFRS yang dilakukan oleh IAI telah berkontribusi dalam menginjeksi value kapitalisme di Indonesia. Pembahasan dalam tulisan ini mencakup akuntansi dan kapitalisme, jebakan kapitalisme dalam IFRS, pengembangan standar akuntansi yang sesuai nilai Indonesia, dan penutup. Metode yang digunakan dalam tulisan ini adalah telaah literatur dengan pemikiran kritis yang bertujuan untuk mencari pola perbaikan atas standar akuntansi di Indonesia.

 

AKUNTANSI DAN KAPITALISME

Beberapa tokoh ekonom dan peneliti menyatakan ada hubungan akuntansi dengan kapitalisme. Chiapello (2007) menyatakan bahwa akuntansi memiliki peran penting dalam melestarikan kapitalisme. Tinker dan Neimark (1988) melakukan serangkaian penelitian di General Motor dalam kurun waktu 1917-1976. Mereka mengungkapkan bahwa fokus informasi dalam laporan keuangan General Motor cenderung berubah-ubah sesuai kondisi struktur kapitalisme yang cenderung tidak stabil. Pada saat gejala sistem kapitalisme menunjukkan pelemahan permintaan atas produk oleh konsumen, laporan tahunan mengungkapkan informasi untuk menimbulkan kesan bahwa pembelian mobil baru secara rutin adalah norma sosial yang wajar dan dapat diterima. Pada saat yang berlainan, ketika gejala ekonomi menunjukkan ketidakstabilan dan ada pergerakan buruh, laporan tahunan memberikan informasi bahwa pekerja seharusnya bekerja sama dan menunjukkan sikap kooperatif dengan manajer dan bukan menentang. Informasi yang disajikan dalam laporan tahunan perusahaan tidak mampu memotret realita yang sebenarnya terjadi. Informasi dalam laporan tahunan hanya digunakan untuk kepentingan pemilik perusahaan yang sejatinya adalah memberikan perlindungan terhadap kekayaan pemilik.

            Berkaitan dengan hal tersebut, Deegan (2007) menyatakan bahwa akuntansi telah gagal menjalankan fungsinya sebagai social tool dan tidak mampu berperan tanpa memihak kepentingan salah satu stakeholder. Akuntansi diharapkan mampu menjadi alat komunikasi untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi di masyarakat dan bukan sebagai alat untuk melegitimasi kapitalisme. Disini, akuntansi justru berperan memberikan prioritas kepada sekelompok orang yang mempunyai power untuk menguasai kehidupan ekonomi seluruh lapisan masyarakat dengan pengendalian dan aturan-aturan yang dimilikinya.

            Nilai kapitalisme juga tercermin dalam standar akuntansi yang dijadikan sebagai pedoman untuk melakukan praktik akuntansi. Nuansa kapitalisme pertama kali dapat ditemukan dalam kerangka konseptual baik kerangka konseptual milik FASB maupun IASB. FASB menyatakan bahwa tujuan dari pelaporan keuangan adalah :

Sedangkan kerangka konseptual IASB menyatakan tujuan pelaporan keuangan sebagai berikut :

Dari uraian kerangka konseptual di atas dapat dinyatakan bahwa tujuan laporan keuangan merupakan implementasi dari value kapitalisme (Adam, 2008).  Dalam konteks ini, pengguna dari laporan keuangan sebagian besar dimaknai sebagai pemegang saham dan kreditur. Pengambilan keputusan terkait penggunaan sumber daya perusahaan erat kaitannya dengan efisiensi biaya dan maksimalisasi laba. Dalam konsep ini, kepentingan pihak-pihak yang termarjinalkan belum dapat diakomodasi oleh akuntansi. Akuntansi belum bisa menyajikan informasi untuk kepentingan buruh ataupun masyarakat di lingkungan dimana perusahaan tersebut berdiri. Informasi mengenai kesejahteraan SDM maupun informasi mengenai kontribusi perusahaan bagi kesejahteraan masyarakat belum tersajikan dalam laporan keuangan.

            Standar akuntansi berubah dari waktu ke waktu, tetapi nilai yang diusung di dalamnya tetaplah nilai kapitalisme. Begitupun yang terjadi di Indonesia. Indonesia hanya berganti kiblat dari GAAP ke IFRS, namun nilai yang ada di dalam kedua standar tersebut tetaplah kapitalisme.

JEBAKAN KAPITALISME DALAM IFRS

Penerapan IFRS di Indonesia pertama kali pada tahun 2008. Perubahan dari GAAP ke IFRS dilakukan secara bertahap. Pengadopsian IFRS ke Indonesia membuat peran Dewan Standar Akuntansi (DSAK) menjadi berubah. DSAK tidak lagi menyusun standar akuntansi, namun menerjemahkan IFRS untuk bisa diterapkan di Indonesia. Proses adopsi IFRS secara penuh selesai pada tahun 2012. Proses penerjemahan ke dalam SAK mungkin mempertimbangkan karakteristik bisnis di Indonesia. Namun, ada yang terlewatkan dalam proses adopsi IFRS. Pertimbangan value mungkin luput dari perhatian IAI pada saat proses pengadopsian IFRS. Value yang terkandung dalam IFRS tidak sesuai dengan value yang dianut oleh Indonesia. Nilai kebersamaan dan kesejahteraan bersama sama sekali tidak tercermin dalam IFRS yang mengusung nilai kapitalisme.

Selain pertimbangan biaya, desakan lingkungan bisnis memaksa Indonesia untuk mengadopsi IFRS. Dari segi biaya, tentu lebih murah apabila menerjemahkan IFRS menjadi standar akuntansi Indonesia daripada harus menyusun standar yang sesuai dengan karakteristik Indonesia. Beberapa manfaat yang sering didengungkan ke publik di balik proses pengadopsian IFRS diantaranya adalah : a) meningkatkan kualitas SAK, b) mengurangi biaya pembuatan standar, c) meningkatkan kualitas laporan keuangan, d) meningkatkan keterbandingan laporan keuangan dengan dunia internasional, e) meningkatkan efisiensi penyusunan laporan keuangan. Manfaat lainnya dari pengadopsian IFRS yang sering dibanggakan oleh IAI adalah mendorong masuknya arus investasi global. Namun, secara tidak sadar peningkatan arus investasi asing juga merupakan jalan masuk bagi kapitalisme. Dengan masuknya investasi asing, berarti telah mengijinkan pemodal asing mengeksploitasi sumber daya alam dan tenaga kerja Indonesia. Outcome peningkatan kesejahteraan dan pengurangan kemiskinan masih belum tercapai , jika diukur dengan output ketersediaan lapangan kerja. Investasi asing memberikan peluang bagi pemodal asing untuk memperkaya diri dan semakin menimbulkan kesenjangan sosial yang semakin melebar di Indonesia.

Pengadopsian IFRS yang ditujukan untuk meningkatkan laju investasi global pada dasarnya bertentangan dengan Pasal 33 Ayat 1 UUD 1945, yang menyebutkan “Perekonomian disusun atas dasar asas kekeluargaan”. Lebih lanjut, Pasal 33 ayat 2 menyebutkan bahwa “Cabang-cabang industri yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”. Dalam Pasal 33 ayat 3 disebutkan “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan seluas-luasnya untuk kepentingan rakyat”. Dari sini kita bisa menarik sebuah pola, bahwa IFRS telah menggiring Indonesia untuk meninggalkan perekonomian yang berlandaskan pada asas kekeluargaan. Sumber daya alam yang seharusnya dapat dikuasai oleh negara untuk dapat dimanfaatkan untuk kepentingan kesejahteraan rakyat, dapat tersingkirkan dan dikuasai pemodal asing yang masuk melalui pintu bernama IFRS.

Ditinjau dari sisi kontennya, IFRS mempunyai tiga karakteristik dasar yang membuatnya berbeda dari GAAP. Pertama, IFRS menganut principal based, sementara GAAP menganut rule based. Dalam principal based, yang diatur hanyalah pokok-pokoknya saja, tidak mengatur secara rinci. Penerapan principal based membutuhkan judgement profesional dari akuntan. Kedua, penggunaan nilai wajar dalam IFRS dianggap dapat meninngkatkan relevansi laporan keuangan daripada historical cost seperti yang digunakan oleh GAAP. Ketiga, dalam IFRS disarankan melakukan pengungkapan informasi dalam lingkup yang lebih luas, agar pengguna mendapatkan informasi yang komprehensif untuk digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan. 

Menurut Stojilkovic (2010) penilaian dengan menggunakan nilai wajar merupakan bentuk neoliberalisme kapitalisme. Selain itu, akuntansi nilai wajar merupakan  cara untuk mencari laba dalam jumlah yang lebih besar. Penggunaan nilai wajar dianggap sebagai cara untuk meningkatkan relevansi informasi akuntansi. Namun, ada hal yang terlupa di balik penerapan nilai wajar. Penilaian seberapa tingkat nilai wajar akan sangat tergantung pada professional judgement dari akuntan dengan menggunakan metode dan teknik tertentu. Lebih lanjut, Stojilkovic (2010) menyatakan bahwa semakin besar proporsi penilaian nilai wajar berdasarkan judgement, maka akan semakin menurunkan tingkat validitas laporan keuangan disebabkan oleh tingginya peluang terjadinya manipulasi. Hal ini karena judgement bersifat sangat subjektif.

Sebagai konsekuensi dari adanya penilaian nilai wajar, dalam IFRS timbul adanya unrealized gain. Jika dicermati, unrealized gain ini merupakan upaya untuk memperbesar nilai akumulasi laba. Maksimalisasi laba atau kekayaan (wealth maximization) merupakan ciri khas utama kapitalisme. Menurut Nugrahanti (2016) penerapan IFRS akan menggiring suatu negara masuk ke dalam jebakan kapitalisme liberalisasi financial market. Sulistyowati (2010) menyatakan bahwa salah satu kepentingan IFRS adalah memastikan laporan arus kas dapat dijadikan sebagai alat untuk memetakan kekuatan perusahaan, dengan tujuan menghasilkan uang dalam jumlah besar. Mesin penggerak kapitalisme berupa pasar modal bukan merupakan alat penggerak ekonomi masyarakat seperti yang selama ini kita pahami. Pasar modal diciptakan dengan hanya satu tujuan, yaitu menjadi mesin yang menghasilkan banyak uang dan aliran uang tidak terkontrol oleh Pemerintah maupun lembaga-lembaga keuangan. Ekonomi suatu negara dapat dimainkan oleh segelintir kelompok orang melalui pasar modal. IFRS merupakan alat bantu untuk mencapai misi kemudahan mengakses pasar modal secara global di seluruh dunia. Dengan diterapkannya IFRS di Indonesia, telah mengantarkan Indonesia pada gerbang perangkap kapitalisme yang sarat akan keserakahan dan mengabaikan nilai-nilai kebersamaan (Nugrahanti. 2016).

PENGEMBANGAN STANDAR AKUNTANSI YANG SESUAI NILAI INDONESIA

            Pengadopsian IFRS mungkin merupakan sebuah keniscayaan agar Indonesia tetap dipertimbangkan dan dilibatkan dalam perekonomian dunia. Untuk membangun sebuah perekonomian yang kokoh tidak selalu harus mengikuti arus utama perekonomian yang dianut banyak negara. Mengembangkan kearifan lokal dan menggunakan nilai budaya sendiri yang lebih baik akan mendorong ciri khas dalam tatanan perekonomian yang mungkin tidak dimiliki oleh negara lain. Penerapan IFRS juga tidak harus dengan transliterasi penuh. Pertimbangan nilai budaya harus dimasukkan dalam proses penyusunan standar akuntansi, termasuk dalam proses pengadopsian IFRS.

            Sebelum melakukan penyusunan standar akuntansi, ada baiknya melakukan perubahan tujuan pelaporan keuangan terlebih dahulu. Tujuan menjadi hal yang penting, karena merupakan alasan sekaligus titik awal mengapa sebuah laporan keuangan disusun. Apabila IFRS dan GAAP sama-sama merumuskan tujuan yang memuat nilai kapitalisme. Indonesia seharusnya menghilangkan nilai kapitalisme dalam perumusan tujuan itu sendiri. Menurut Hafizah (2004) perlu adanya perubahan tujuan dari decision making menjadi accountability. Tujuan pengambilan keputusan atau decision making, telah memasukkan adanya unsur kepentingan dari pihak-pihak tertentu, yang pada akhirnya akan mengerucut pada pihak yang mempunyai power. Berbeda dengan tujuan pelaporan keuangan untuk akuntabilitas. Akuntabilitas dimaknai sebagai bentuk pertanggungjawaban perusahaan terhadap seluruh aktivitas operasionalnya. Perusahaan menyadari bahwa untuk dapat beroperasional, perusahaan membutuhkan dukungan dan legitimasi termasuk dukungan pendanaan dari masyarakat. Oleh karena itu, perusahaan harus melakukan pertanggungjawaban dengan mengungkapkan seluruh informasi apa adanya yang terjadi selama siklus operasional perusahaan. Menurut Nugrahanti (2016) selain memberikan informasi kuantitatif, akuntansi juga harus menyediakan informasi yang bersifat kualitatif, agar masyarakat dapat memperoleh informasi yang komprehensif.

            Berbicara tentang akuntabilitas, sebenarnya konsep ini dapat dijabarkan menjadi makna yang lebih luas. Triyuwono (2006) menyebutkan bahwa akuntabilitas terbagi menjadi dua jenis, yaitu : akuntabilitas horizontal dan akuntabilitas vertikal. Akuntabilitas horizontal berkaitan dengan bentuk pertanggungjawaban manusia kepada sesama manusia dan alam sekitarnya. Sedangkan akuntabilitas vertikal berkaitan dengan bentuk pertanggungjawaban manusia kepada Tuhannya. Dari substansi dari kedua bentuk akuntabilitas tersebut, jika dijabarkan dalam standar akuntansi, maka dimensi yang digunakan bukan lagi ukuran laba ataupun rugi. Melainkan, perusahaan juga harus melaporkan aktivitas kontribusinya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan sesama manusia dan menjaga kelestarian alam (Triyuwono, 2006).

            Hal selanjutnya yang perlu menjadi perhatian saat penyusunan standar adalah mengenai konsep laba. Laba dalam akuntansi saat ini dijadikan indikator untuk pengukuran kinerja. Semakin tinggi laba atau tingkat profitabilitas, semakin tinggi pula return untuk investor, kinerja perusahaan tersebut akan dinilai semakin baik. Ketika penilaian baik-buruk sebuah perusahaan hanya dilihat dari sudut pandang materi, maka akan terjadi banyak perilaku menyimpang. Perilaku menyimpang manajemen karena digerakkan oleh keserakahan yang secara implisit ada dalam orientasi penyusunan laporan keuangan. Standar akuntansi harus dapat menjadi guide bagi praktik penyusunan laporan keuangan dan harus mampu meminimalisasi efek materialistis dari dimensi laba. Jika tadi disebutkan bahwa tujuan pelaporan keuangan adalah salah satunya untuk akuntabilitas horizontal, maka kontribusi kepada masyarakat merupakan konsep yang lebih tepat dalam menggantikan laba sebagai indikator kinerja. Zakat dapat dijadikan instrumen keuangan yang memiliki nilai kontribusi kepada masyarakat (Triyuwono,2006). Zakat dapat dijadikan indikator kinerja, bahwa semakin banyak zakat yang dikeluarkan, semakin banyak manfaat yang diterima oleh masyarakat, kinerja perusahaan menjadi semakin baik. Format laporan yang ada tidak lagi menyajikan laba rugi sebagai fokus utama, melainkan zakat sebagai instrumen kesejahteraan masyarakat, yang akan dijadikan sebagai fokus laporan keuangan. Laba rugi hanya disajikan sebagai dasar untuk perhitungan zakat. Dengan demikian, saat membaca laporan keuangan perusahaan, keputusan yang dibuat oleh investor dalam menanamkan investasinya bukan lagi digerakkan oleh ruh keserakahan yang ingin mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya, melainkan digerakkan oleh semangat berkontribusi kepada masyarakat, berlomba menjadi yang terbaik dalam hal peningkatan kesejahteraan masyarakat.

KESIMPULAN

            Kapitalisme telah melekat pada proses bisnis dan sistem ekonomi di banyak negara di dunia. Kebutuhan ekspansi bisnis dan upaya untuk mendapatkan sumber daya alam dan tenaga kerja yang murah menuntut dilahirkannya standar internasional yang diterapkan tunggal di seluruh dunia. Adopsi IFRS membawa implikasi pada internalisasi nilai budaya kapitalisme ke dalam sistem sosial di Indonesia. IFRS membawa Indonesia masuk ke dalam pusaran arus kapitalisme yang telah menggeser nilai-nilai kebaikan yang ada dalam budaya Indonesia. Akan lebih bijak jika dalam mengembangkan standar akuntansi, nilai-nilai budaya tersebut dipertimbangkan. Dalam proses penyusunan standar perlu terlebih dahulu merubah tujuan dari pelaporan keuangan dan juga konsep pengukuran kinerja. Tujuan pelaporan keuangan bukan lagi digunakan untuk pengambilan keputusan melainkan sebagi akuntabilitas atau bentuk pertanggungjawaban perusahaan baik kepada sesama manusia,alam, dan Tuhan. Dalam mengukur kinerja, zakat dapat digunakan sebagai pengganti konsep laba yang selama ini dijadikan sebagai indikator kinerja. Dengan menggunakan zakat sebagai acuan penilaian kinerja, seluruh aktivitas yang melibatkan stakeholder, baik investasi, operasional, maupun pendanaan akan digerakkan oleh semangat berkontribusi kepada masyarakat demi menjaga dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat

Comments

Popular posts from this blog

Pelatihan Laporan Keuangan Sederhana Pada Kelompok UMKM Kalisidi

Economic Festival Night 2022

Accounting in Society: Berbagi bersama Belajar Menyenangkan